Kesehatan Mental Pekerja Agraria yang Terabaikan

Kesehatan Mental Pekerja Agraria yang Terabaikan

Lingkungan kerja yang beracun ini ditambah dengan jam kerja yang berlebihan dan kurangnya waktu untuk melakukan aktivitas sosial mengakibatkan pekerja mengalami hal tersebut pemadaman dan stres yang berisiko terhadap gangguan jiwa.

Mayoritas pekerjanya adalah sektor pertanian

Lingkungan kerja secara umum diartikan sebagai lingkungan kerja para pekerja kantoran – baik pekerja swasta maupun pegawai negeri sipil – dan cenderung pekerja di perkotaan.

Padahal, kesehatan mental di lingkungan kerja juga harus menjadi perhatian seluruh pekerja, baik pekerja kantoran formal maupun pekerja nonformal dan informal. Padahal, dua sektor terakhir ini perlu mendapat perhatian lebih mengingat besarnya ketidakpastian, baik dalam hal lapangan kerja maupun pendapatan.

Anggaran kesehatan jiwa sangat kecil dibandingkan total anggaran kesehatan, yakni kurang dari 1 persen.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Infografis Tahun 2024 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik volume 8 (2024), pertanian masih menjadi sektor lapangan kerja utama yang bertahan di tengah modernisasi. Pada tahun 2023, mayoritas penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas akan bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Kesempatan kerja pada ketiga sektor tersebut tidak memerlukan pendidikan tinggi sehingga dapat diisi oleh masyarakat yang berpendidikan rendah. Hal ini didukung oleh fakta bahwa 81 persen pekerja memiliki pendidikan minimal sekolah menengah.

Dengan pendidikan yang terbatas, pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga menerima upah terendah kedua setelah sektor jasa lainnya.

Rata-rata mereka menerima Rp2.374.788, jumlah yang bahkan lebih rendah dibandingkan rata-rata upah minimum nasional sebesar Rp3.191.662. Di Jawa Timur, gaji mereka bahkan kurang dari Rp2 juta per bulan.

Kesehatan mental pekerja pertanian

Dengan gaji pas-pasan, bagaimana status kesehatan mental mereka? Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok nelayan yaitu 6,9 persen, disusul pekerja/sopir/asisten rumah tangga (5,8 persen), dan petani/buruh tani (5,5 persen).

Kondisi ini sangat berbeda dengan angka prevalensi depresi pada pegawai swasta dan ASN yang masing-masing sebesar 4,3 persen dan 2,4 persen.

Pola yang sama juga terjadi pada prevalensi gangguan jiwa emosional, yaitu 10,8 persen pada kelompok nelayan dan 9,7 persen pada pekerja/sopir/pembantu rumah tangga dan petani/buruh tani.

Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional pada pegawai swasta dan ASN masing-masing sebesar 6,3 persen dan 3,9 persen.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas pekerja Indonesia yang bekerja di sektor pertanian non-formal dan informal mempunyai risiko mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor perkantoran formal, baik pemerintah maupun swasta.

Penentu sosial kesehatan mental

Salah satu faktor tingginya prevalensi gangguan mental emosional dan depresi pada pekerja pertanian adalah ketidakpastian ekonomi. Berbeda dengan pekerja kantoran yang mendapat gaji bulanan, nelayan, petani, dan mereka yang bekerja di sektor informal tidak mendapat kepastian ekonomi karena sangat bergantung pada situasi di luar dirinya, misalnya ketergantungan pada cuaca dan musim yang berdampak pada ikan. tangkapan atau panen. .

Hal ini dapat menyebabkan stres musiman. Pendapatan yang diperoleh mungkin tidak mampu menutupi biaya operasional yang tinggi (pupuk, bensin untuk mesin kapal, transportasi), apalagi jika gagal panen karena hujan atau hama.

Baca juga: Kisah Sedih Petani di Negara Agraris

Pekerja pertanian dan mereka yang bekerja di sektor informal pada umumnya mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang terbatas karena banyak yang mewariskan pekerjaannya dari orang tuanya. Terbatasnya pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka juga dapat menjadi kendala dan mereka kalah bersaing dengan petani atau nelayan yang lebih berpendidikan, mempunyai modal lebih dan menggunakan metode yang lebih modern.

Sementara itu, mereka juga dituntut untuk mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya.

Sadar bahwa pendidikan bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan, mereka bekerja keras agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan yang baik dan bekerja di sektor formal agar bisa mendapat gaji bulanan.

Tak jarang mereka melarang anaknya menjadi petani atau nelayan karena dianggap pekerjaan yang tidak menjanjikan.

Pekerja sektor agraris dan informal pada umumnya memerlukan kemampuan fisik yang berat. Pekerjaan fisik yang berlebihan dapat mengakibatkan cedera dan memerlukan bantuan medis.

Sarana transportasi dan jarak ke puskesmas terdekat dapat menjadi kendala bagi pekerja pertanian dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan jiwa di daerah tentu lebih sulit didapat mengingat psikolog dan psikiater belum merata di seluruh Indonesia. Data menunjukkan ketersediaan tenaga kesehatan jiwa sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Meningkatkan kesehatan mental

Pekerja pertanian mungkin belum mengetahui apa itu kesehatan mental. Mereka mungkin mengetahui bahwa gangguan mental yang serius disebabkan oleh perubahan nyata dalam perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Istilah stres yang merupakan adopsi dari luar mungkin juga belum kita kenal.

Namun, para pekerja pertanian ini mungkin melaporkan gejala-gejala bahwa mereka mengalami stres dan gangguan emosi, misalnya sulit tidur, sulit berkonsentrasi pada pekerjaan, dan jantung mudah berdebar-debar.

Karena belum tentu tersedia tenaga profesional, maka penguatan kader untuk mendapat pelatihan dasar kesehatan jiwa sangat diperlukan di sini.

Kader-kader ini merupakan warga masyarakat yang diberikan pelatihan kesehatan jiwa agar mampu mendeteksi warga di lingkungannya dan segera melakukan respon jika diketahui mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Pada tahun 2002, Menteri Kesehatan menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 220 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) yang terstruktur mulai dari pusat hingga daerah. /kota.

Tim ini terdiri dari individu-individu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, lembaga swadaya masyarakat, serta melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kesehatan jiwa di masyarakat.

Salah satu faktor tingginya prevalensi gangguan mental emosional dan depresi pada pekerja pertanian adalah ketidakpastian ekonomi.

Sayangnya belum semua kabupaten/kota mempunyai dan berpikir untuk membentuk TPKJM karena berbagai kendala, termasuk pendanaan. Anggaran kesehatan jiwa sangat kecil dibandingkan total anggaran kesehatan, yakni kurang dari 1 persen.

Karena pengertian kesehatan meliputi kesehatan jasmani, rohani, dan sosial, maka pemerintah perlu meningkatkan perhatian dan anggaran terhadap kesehatan jiwa agar upaya peningkatan kesehatan jiwa dan pencegahan gangguan jiwa dapat dilaksanakan di masyarakat.

Pepatah mengatakan, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental, Maka perhatian terhadap upaya kesehatan mental adalah sebuah keniscayaan.

Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Kompas/STEPHANUS ARANDITIO

Eunike Sri Tyas Suci

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *